29 Jul 2014

Tambang dan Banjir Samarinda

"Asalnya dari mana, mbak?"
"Dari Samarinda, Bu"
"Oh, yang banjir itu ya?"
"Iii..ya.."
Dengan berat hati saya mengiyakan pertanyaan si ibu itu. Menohok. Mengapa Samarinda sebegitu identiknya dengan banjir, bahkan bagi orang yang baru sekali-dua kali datang ke Samarinda?. 

Tak bisa dipungkiri Samarinda hingga kini masih akrab dengan banjir, beberapa daerah menjadi langganan banjir dan menjadikan kota ini bak kota seribu sungai. Aktivitas warga terhambat, perputaran ekonomi tersendat dan berbagai efek yang ditimbulkannya.

Banjir di pusat kota beberapa tahun lalu


Lihat saja bila hujan deras turun setidaknya 2 atau 3 jam, tak lama kemudian beberapa titik seperti simpang Lembuswana atau kawasan Mugirejo menjadi titik langganan banjir. Sempaja? ruas simpang empat Sempaja sampai pintu masuk stadion Sempaja bahkan terkadang ditutup karena tak memungkinkan dilewati kendaraan karena kedalamannya, dan saya pun harus mencari jalan alternatif untuk berangkat ke kantor menghindari simpang Sempaja. Nekat lewat? Siap-siap motor matic mati terendam air!

Lalu apa penyebab banjir begitu ‘bersahabat’? Banyak faktor pemicu banjir, di antaranya;

1. Pengalihan fungsi lahan
Sepertinya ini yang menjadi akar permasalahannya, daerah resapan air yang telah jauh berkurang dan berubah fungsi menjadi perumahan dan tambang kota. Eksplorasi-atau eksploitasi-sumber daya alam mineral yang kurang terkendali serta aktivitas land clearing pembangunan kawasan perumahan membuat air hujan yang menghujam bumi tak mampu lagi diresap dengan baik oleh tanah dengan cepat. Akibatnya air hujan akan  mencari tempat yang lebih rendah dengan membawa material pasir dan lumpur menuju parit. 

2. Sendimentasi
Melanjutkan poin pertama, parit atau selokan di beberapa daerah sudah terlihat sedimen yang meninggi sehingga limpahan air hujan tak cukup ditampung dalam parit dan air akan meluber ke badan jalan. Lihat saja yang ada di sekitar Jl. A. W. Syahranie, kedalaman parit tertutup oleh sedimentasi dan menyisakan beberapa sentimeter ruang untuk saluran air yang disebut parit. Hal ini diperparah dengan tertutupnya parit oleh beton bertulang atas nama percepatan pembangunan kota. Saat pelaksanaan normalisasi parit tentu hal ini akan menyulitkan pekerjanya. 

3. Sampah
Sampah? menurut saya untuk di Samarinda faktor ini hanya penyumbang sebagian kecil meski tak bisa dikesampingkan. Meskipun bersih dari sampah jika 2 poin di atas masih dominan ya tak berpengaruh banyak. 

Dampak lingkungan aktivitas tambang batubara
Kalimantan Timur memberikan tawaran yang menggiurkan bagi pelaku usaha emas hitam untuk mengeruk pundi Rupiah (atau Dollar?) dari bisnis ini. Tak terkecuali Samarinda yang (pernah) memiliki cadangan batubara yang terbilang tak sedikit. Celakanya, di kawasan kota yang dekat dengan pemukiman penduduk pun disikat. Beberapa perusahaan tambang kelas kecil menengah berbentuk CV. banyak bermunculan, pengelolaannya pun ala kadarnya. Pembebasan lahan, land clearing, coal getting, loading, hauling, selesai. 

Tak mudah memberikan solusi terhadap kota ini yang semakin tua dengan segala problemantikanya. Mengatasi permasalahan banjir dari hulu dirasa akan lebih efektif. Membatasi izin-izin pengalihan fungsi lahan serta pengawasan lingkungan menjadi langkah darurat untuk mencegah kerusakan lingkungan semakin parah.
 

Lempake, banyak lahan terbuka dan air hujan 'turun gunung'

Lahan-lahan terbuka yang gundul hendaknya memiliki sediment pond dan settling pond untuk mengontrol aliran air dari lahan terbuka agar tidak membawa material pasir dan tanah yang dapat menutupi parit. Oke, ini untuk lahan yang sudah gundul, jangka panjangnya ya mengembalikannya menjadi lahan resapan.
Ah, jika nanti saya punya rumah dengan halaman luas haram hukumnya melakukan semenisasi. Maunya di bikin taman dengan rumput hijau, maksimal pakai paving block jadi punya lahan resapan bagi air hujan.

Tambang boleh jadi menjadi kambing hitam atas timbulnya banjir di kota Samarinda, bagaimana tidak, dalam beberapa tahun terakhir wilayah banjir meluas seiring dengan mudahnya izin-izin pertambangan.

Tambang batubara yang dekat dengan pemukiman penduduk tidak bisa dipungkiri akan berdampak lingkungan secara langsung bagi lingkungan terdekat, polusi suara, polusi air dan bekas galian yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi. Reklamasi? Mungkin ada pihak yang mengesampingkan soal reklamasi.

Asal tahu saja, reklamasi tambang tak sekadar menutup lubang bekas galian yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter bahkan lebih, namun juga perihal penghijauan kembali hingga lahan tersebut setidaknya hingga cukup subur ditanami bibit-bibit pepohonan cikal bakal hutan.

Biaya untuk reklamasi bisa dibilang tidaklah sedikit, butuh beribu ton tanah untuk dipindahkan, top soil sebagai kunci kesuburan pun tak boleh dilupakan. Juga, butuh ratusan ribu liter solar untuk mengoperasikan dump truck, dozer, excavator dan alat berat lainnya yang biaya sewanya mencapai Rp 400.000 per unit per jam! Jika diakumulasikan biaya reklamasi cukup untuk membiayai pembukaan lahan baru. See?
 
Well, yang sudah biarlah menjadi pelajaran. Dari dahulu Samarinda memang langganan banjir, tetapi 'sama rendah' bukan berarti diam saja. Kalaupun tidak mudah memperbaiki lingkungan setidaknya tidak memperburuk lingkungan. Udah, itu aja! :)

No comments:

Post a Comment

Blogger Widgets
 

Seputar Samarinda

Peta SMR

Event