15 Jul 2014

Samarinda, I'm in Love With You

"Samarinda itu yaa... parah!"
"Fyuh.. habis dari Samarinda, macet di mana-mana."
"Hujan? Pasti banjir lagi deh..."
- dst.

Ya, itu adalah keluhan yang paling sering saya dengar. Baik dari media sosial, status BBM dan bahkan langsung dari mulut yang bersangkutan. Saya kadang menanggapinya hanya dengan tersenyum walau tidak jarang saya sedikit memberikan komentar. Haha.. maafkan saya, saya selalu sering terbawa emosi kalau sudah menyangkut Samarinda. Nada-nada nyinyir tidak tahu terima kasih seperti itulah yang terkadang membuat saya ngomel-ngomel tidak karuan. Bahkan pernah sampai berkonfrontasi langsung. -yang belakangan saya sadari betapa sia-sia hal tersebut- :D


Visit Samarinda (foto : Disbudparkominfo Samarinda)

Mereka yang hanya melihat dari lingkaran luar pasti tidak mengerti. Mereka yang hanya bisa bicara juga pasti tidak akan bisa melihat. Ya, mereka melihat, namun tidak memperhatikan. Mereka berkomentar, namun tidak memperbaiki. Pada akhirnya yang bisa mereka lakukan hanya menilai tanpa ada usaha apapun untuk mengubah.

Jujur saja, saya sendiri terkadang terganggu dengan berbagai hal seperti macet dan banjir yang menjadi momok dari kota Ini. Pun, sebagai sebuah Ibukota yang tidak punya bandara, well.. ralat, maksud saya, Samarinda akan punya bandara, namun entah kapan. Tapi, seiring waktu berjalan, nampaknya toleransi saya terhadap kota tua ini menjadi semakin meningkat. Entah sejak kapan saya mulai tidak pernah mengeluh lagi akan banjir. Entah sejak kapan, saya tidak pernah memaki lagi saat terjebak macet. Karena saya pikir, ada saat-saat di mana saya benar-benar menikmati berada di kota ini.

Mungkin memang tidak bersih, debu di mana-mana, jalan rusak berlubang penuh tambalan sana-sini. Namun, jika mencoba menarik ke belakang ini semua karena berkembangnya kegiatan tambang batu bara yang sekarang sudah memakan sekitar 70% wilayah Samarinda. Tambang yang tidak jelas izinnya. Tambang yang ilegal yang semua itu pada akhirnya berdampak kepada Samarinda. Tidak adanya wilayah tadah air, membuat air hujan yang sepanjang tahun terus turun tidak mempunyai tempat untuk meresap ke tanah. Sehingga, menggenang dengan sukses dan menciptakan banjir.

Salahkan pemerintah untuk itu, atau salahkan penduduknya, yang semena-mena mengeskploitasi sumber daya yang dimiliki tanpa memikirkan akibat yang dihasilkan. Keegoisan dari manusia-manusia yang ada di dalamnya pada akhirnya malah menyerang manusia-manusia itu sendiri. Kemudian, yang paling akhir disalahkan adalah Samarinda. Samarinda begini, Samarinda begitu, tidak pernah ada benarnya.

Saya masih ingat, saat-saat saya masih kecil dan bebas berpetualang ke hutan terdekat dengan rumah. Ya, dulu masih banyak hutan-hutan liar yang menjadi arena bermain teman-teman satu angkatan saya. Masih ingat dengan bermain tali menggunakan tanaman rambat? Atau buah pedak untuk adu kuat? Bagaimana dengan hunting pohon bambu untuk dibuat layang-layang? Keterbatasan yang saya punya saat itu tidak sedikitpun menurunkan kebahagiaan saya. 

Lalu bagaimana dengan sekarang? Saat semuanya sudah mulai kacau. Bahkan pemerintah terlihat tutup mata dalam menghadapi dan menanggulangi masalah-masalah ini. Bisakah saya tetap menjatuhkan cinta saya kepada Samarinda?

Ya, pada akhirnya, sekeras apapun saya berpikir -dan mungkin ini adalah keegoisan saya- saya tetap mencintai kota ini.

Ada saat-saat kenyamanan yang sangat, saat melintasi jalan raya yang kosong di tengah malam. Karena seharian pada saat hiruk-pikuk ibukota berlangsung, saya selalu melintasi jalanan yang macet, saat saya pulang dari kegiatan malam hari, saya merasa bebas. Bebas memacu si Yuki (motor andalan saya) sekencangnya, melintasi jalanan yang beberapa jam lalu pasti tidak bisa mencapai ke kecepatan segitu. 

Atau ketika kerinduaan akan hujan terpenuhi walau sebelumnya keadaan hari panas terik tidak terlihat satu gumpalan awanpun. Beberapa saat kemudian rintik-rintik hujan pasti turun membawa kedamaian, membawa rasa nyaman, dan sejuk yang tidak tergantikan. Jika di Jawa sana saya hanya bisa menikmati hujan pada musim hujan, di Samarinda saya bisa menikmatinya sepanjang tahun. Untuk pecinta hujan macam saya, ini adalah hal yang sangat menyenangkan!

Bahkan, uniknya di Samarinda, hujan terkadang tidak merata di seluruh kota. Kadang hanya terjadi di sebagian kecil wilayah kota, atau biasa kami sebut hujan lokal. Pernah suatu hari, saat saya pulang kuliah, di tengah jalan saya kehujanan sejadi-jadinya. Namun, belum sampai di rumah, ternyata sudah terang benderang. Jalanan pun terlihat gersang, tidak pernah dijatuhi oleh air. Saya selalu tersenyum konyol kalau sudah begitu. Juga karena seringnya hujan turun di sini, ada satu jargon konyol yang selalu kami gunakan. "Habis cuci motor, hujan turun. Pada saat motor dibiarkan kotor, hujan tidak pernah turun".

Namun, terlepas dari itu semua, ada satu hal utama yang membuat saya merasa Samarinda adalah kampung halaman saya. Yaitu penerimaan. Ya, sebagian besar masyarakat Samarinda adalah pendatang. Baik itu dari Jawa, Sulawesi, Madura, dan lain-lain. Keramahtamahan dan dan kerendah-hatian semua yang ada di Samarinda membuat saya merasa. "Inilah rumah saya. Ke sinilah saya seharusnya kembali". 

Humble. Begitu saya mengekspresikan masyarakat Samarinda dalam satu kata. Keakraban yang tercipta, senasib sepenanggungan yang saya rasakan, benar-benar memikat saya untuk jatuh cinta lebih dalam. Tidak diragukan lagi, saya sangat mencintai kota ini. Dan berharap dengan sangat, semua orang juga merasakan apa yang saya rasakan. Kemudian kami akan bergabung untuk bertindak mengusahakan Samarinda menjadi kota yang lebih baik lagi.

Jadi, pertanyaannya sekarang adalah.. "Sudahkah kamu jatuh cinta dengan Samarinda?"

Salam hangat,
Frisca D. Putri.


No comments:

Post a Comment

Blogger Widgets
 

Seputar Samarinda

Peta SMR

Event